dan fisik anak

Sehatkan

mental

FREEPIK

Anak-anak turut merasakan dampak yang tak menyenangkan secara fisik dan psikologis.

Diah Winda Sari memandangi wajah cerita putra bungsunya, Danish Pane (10 tahun). ‘’Dia senang banget waktu melakukan ecotherapy,’’ ujar ibu dua anak itu saat dihubungi pekan lalu.

 

Ecotherapy atau yang dikenal juga dengan terapi hijau atau perawatan hijau merupakan langkah terapi untuk meningkatkan kemampuan dan kesehatan mental dengan perawatan di ruang hijau atau alam.

 

Bagi perempuan berusia 42 tahun ini, terapi macam ini cocok diterapkan untuk buah hatinya terutama saat pandemi yang mengharuskan mereka senantiasa berada di rumah. ‘’Walaupun mager, Danish tetap senang kalau diminta berkegiatan di alam,’’ kata Diah.

Sudah lebih dari 1,5 tahun sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Selama itu pula, anak-anak harus ikut merasakan dampak yang tak menyenangkan, baik secara fisik maupun psikologis. Lantaran itulah, orang tua pun harus berpikir lebih keras agar sang buah hati tidak mengalami masalah fisik dan mental akibat pandemi ini.

 

"Covid-19 di Indonesia ini kita bisa bilang cukup mengkhawatirkan, karena satu dari delapan kasus Covid-19 yang ada saat ini adalah anak-anak," jelas dokter spesialis anak Good Doctor dr Natasya Ayu Andamari SpA dalam #GoodTalkSeries yang disiarkan melalui akun Instagram @gooddoctor.id.

 

Di antara kasus Covid-19 pada anak, sebanyak 3-5 persennya mengalami kematian. Sedangkan, dari kasus kematian akibat Covid-19 pada anak ini, sebanyak 50 persennya merupakan pasien balita. "Jadi memang sangat memiriskan hati, sedih banget, kenapa anak-anak terkena dan sampai meninggal," jelas dr Natasya.

 

Pada anak, kasus Covid-19 bergejala berat dan kematian dapat terjadi ketika penyakit tersebut mengenai organ-organ vital seperti paru-paru, jantung, dan otak. Ketika organ vital terdampak, akan terjadi ketidakseimbangan pada badan anak yang kemudian membuat kondisi anak memburuk dan bisa berujung pada kematian.

UNSPLASH

Oleh karena itu, imunitas anak perlu dioptimalkan agar bisa lebih terlindungi dari penularan Covid-19. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui vaksinasi Covid-19.

 

Akan tetapi, anak berusia di bawah 12 tahun belum bisa mendapatkan vaksin Covid-19. Pada anak yang belum bisa divaksinasi Covid-19, orang tua dapat melakukan tiga upaya lain untuk meningkatkan perlindungan bagi mereka.

 

Salah satu di antaranya adalah dengan mengoptimalkan asupan nutrisi anak melalui pola makan yang sehat dan seimbang. Hal lain yang tak kalah penting adalah menjaga kecukupan tidur anak. Upaya ketiga adalah melindungi anak dengan melengkapi imunisasi anak.  "Baru yang lainnya, misal ketika mengajak keluar anak usia dua tahun boleh dipakaikan masker, rajin cuci tangan, jaga jarak, batasi circle juga," ungkap dr Natasya.

 

Jenuh hingga stres

 

Tak hanya kesehatan fisik, kondisi mental anak pun turut terdampak oleh pandemi Covid-19. Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener MPsi mengatakan dampak mental atau psikologis paling minim yang mungkin dialami anak akibat pandemi Covid-19 adalah perasaan jenuh.

 

Masalah lain yang patut diwaspadai adalah kecanduan gawai. Samanta mengatakan ada lonjakan orang tua yang pergi berkonsultasi ke psikiater atau psikolog anak karena anak mereka kecanduan gawai dan orang tua tidak tahu harus bagaimana.

 

Samanta juga menyoroti adanya peningkatan kasus stres pada anak. Pada November lalu, Samanta mengatakan ada 95 persen lonjakan kasus stres pada anak dibandingkan sebelum pandemi. "Dalam waktu enam bulan (sejak pandemi) lonjakannya tinggi banget, apalagi sekarang sudah 1,5 tahun," jelas Samanta.

 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mewanti-wanti akan adanya kasus depresi setelah pandemi usai. Meski saat ini pandemi belum selesai, Samanta melihat kecenderungan atau rasa depresi pada anak sudah mulai terlihat.

zhivko minkov/unsplash

Samanta mengatakan sebagian anak mulai cranky atau mudah marah, tidak mau sekolah, mengalami penurunan motivasi, hingga mengalami perubahan pada pola tidur dan pola makan.

 

Bagaimana jika anak rewel? Samanta mengatakan kondisi tersebut bisa terjadi bila anak mengalami stres atau sedang mengalami fase sensory meltdown di mana ada kelebihan informasi-informasi sensori yang diproses dalam otak anak. "Mau tidak mau kita mesti benar-benar jeli (membedakannya)," ungkap Samanta.

 

Samanta mengatakan usia balita merupakan masa di mana anak mengalami tantrum. Akan tetapi, tantrum yang normal hanya berlangsung sekitar 10-15 menit. Bila anak menangis hingga 20-30 menit, kondisi tersebut mungkin bukan tantrum, melainkan ada lonjakan emosional yang dirasakan anak atau terjadi sensory meltdown.

 

Kecemasan pada anak, khususnya balita, juga dapat diperhatikan melalui perubahan perilaku anak. Misalnya, anak berusia tiga tahun yang semula sudah tidak mengompol jadi kembali mengompol di waktu tidur atau bermain.

 

Anak yang rewel ketika tidur atau mengalami mimpi buruk terus-menerus selama lebih dari sepekan juga perlu diwaspadai. Mimpi buruk yang terjadi sesekali mungkin disebabkan oleh aktivitas anak yang terlalu aktif di hari itu. Namun mimpi buruk yang terjadi terus-menerus bisa jadi menjadi indikasi bahwa anak sedang stres.

 

Orang tua perlu lebih waspada bila anak mereka mengalami sleepwalking atau tidur sambil berjalan. Bila hal ini terjadi, orang tua sebaiknya menghubungi tenaga profesional untuk mendapatkan cara penanganan yang tepat. "Karena kalau sudah sleepwalking itu sudah parah banget untuk anak-anak," ujar Samanta.

Bila terjadi perubahan perilaku pada buah hati, tentu tidak boleh dianggap sepele. Para orang tua sebaiknya memperhatikan perubahan perilaku tersebut dan melakukan langkah antisipatif untuk mengatasi perubahan tersebut. Apa sajakah perubahan perilaku dan langkah antisipatif untuk buah hati?

Perhatikan Buah Hati

Lakukan validasi perasaan

Dalam menghadapi situasi seperti ini, orang tua diharapkan dapat memvalidasi perasaan atau emosi yang dirasakan oleh anak. Bila anak mengalami kesulitan untuk memahami emosinya, orang tua bisa membantu anak mengenali emosi mereka dengan menggunakan emotion cards atau kartu emosi untuk anak. Kartu-kartu ini memuat gambar yang menunjukkan beragam emosi. Anak nantinya bisa menunjuk kartu yang dia rasa mewakili perasaannya saat itu.

Peluk buah hati

Psikolog Samanta Elsener juga menganjurkan agar orang tua membiasakan diri untuk memeluk anak mereka, minimal delapan kali dalam sehari dengan durasi minimal 20 detik untuk satu kali pelukan. Pelukan dari orang tua dapat membuat anak merasa tekanan di dalam hidupnya menurun.

Bimbing agar lebih baik

"Tugas kita sebagai orang tua kan mencintai anak apa adanya dan membimbingnya sehingga menjadi lebih baik. Jadi ketika anak sedang mengalami kesulitan, apapun kondisinya, tunjukkanlah bahwa kita memang benar-benar mencintainya dan mau menolongnya untuk merasa lebih baik," ujar psikolog Muthmainah Mufidah dari Universitas Indonesia.

Bantuan profesional

Namun apabila orang tua belum memahami tentang masalah kesehatan mental, ada baiknya  agar orang tua tidak ragu untuk mencari bantuan profesional.

Membanting-banting barang

Perubahan ini perlu diwaspadai terlebih bila sebelumnya anak tersebut tak pernah membanting-banting barang.

Anak menjadi pemilih saat makan atau picky eater.

Kedua perubahan perilaku tersebut dapat menjadi indikasi adanya masalah emosi yang sulit diproses oleh anak.

top

jordan whitt/unsplash